“Adek, jangan gitu dong! Kasihan kan, digigit terus... nanti nangis loh,
kukunya!” Aku kembali mengingatkan Malika, saat kulihat dia mulai menggigiti
kukunya.
“Ih, Adek, kok digigit lagi sih! Tuh, lihat kulit jarimu juga sampai
mengelupas gitu. Nanti kalau sakit bagaimana?”
Aku mulai menaikkan nada suara, menyaksikan tingkahnya. Meski sudah
berkali-kali kuingatkan, dia tetap saja mengulanginya. Kuku-kuku tangan gadis
kecil berusia 3 tahun itu semakin tak berbentuk. Pun, kulit jemarinya. Bahkan
beberapa kali terlihat kemerahan, hampir berdarah.
Awalnya, aku pikir ini hal yang wajar kalau balita memasukkan semua benda
ke dalam mulut, lalu mencoba menggigit atau memakannya. Mungkin Malika masih
dalam fase oral atau giginya mulai
gatal lagi karena mau tumbuh. Ah, entahlah.
Namun, akhir-akhir ini kuperhatikan perilakunya ini makin intens. Sering kali aku menegurnya, tapi
dia tetap mengulanginya lagi. Tak jarang, emosiku naik, lalu dengan agak kasar
aku tarik tangannya dari mulutnya. Tentu disertasi dengan omelan dan ancaman.
Tapi, lagi-lagi hal itu hanya membuatnya berhenti sebentar, lalu gigi kecilnya
kembali mengeksekusi kuku tipisnya.
“Mama... mama...” teriak Malika sambil menghampiriku.
‘”Ma, sakit...” ucap Malika sambil menunjukkan ujung jemarinya yang
memerah.
“Ya ampun sayang, kok sampai kayak gini sih? Tuh kan, makanya jangan
digigit dong kukunya. Kena tangan kamu nih. Sini, mama obatin dulu ya. Di kasih
salep dan plester ya?” Aku segera mengobati tangan Malika meski dengan mulut
yang terus bicara.
Aku pun mulai khawatir. Terus terang, aku merasa takut kalau-kalau
kebiasannya ini akan berdampak buruk baginya. Bagaimana kalau kukunya jadi
infeksi? Bagaimana kalau kukunya tertelan? Bagaimana kalau kotoran dalam kukunya
ikut masuk dalam perutnya dan menyebabkan penyakit? Atau, apakah ada masalah lain seperti psikologi, misalnya. Duh... aku menutup wajah,
ngeri membayangkannya.
Gadis kecil berambut ikal itu telah terlelap. Tak mau berlarut-larut
dengan kekhawatiran ini, aku pun segera mengambil gawaiku. Kuketik kata kunci “kebiasaan
anak menggigit kuku” setelah kubuka aplikasi pencarian favoritku. Ah, gawai
jaman sekarang memang sering menjadi semacam kotak P3K bagi para ibu muda
sepertiku.
Ada banyak artikel yang muncul di sana. Kupilih artikel-artikel dari
beberapa website terpercaya.
“Yap! Ini yang kucari,” batinku sambil serius membaca satu persatu
tulisan itu.
Dalam ilmu psikologi anak, ternyata kebiasaan baru Malika ini biasa disebut dengan Onychopagia. Perilaku ini memang banyak
dilakukan oleh anak-anak. Sekitar 20% anak melakukannya. Sebagian akan berhenti,
namun sebagian lagi (sekitar 40-50%) akan terus melakukan hingga dewasa.
Masih dari tulisan itu, disebutkan bahwa penyebab dari Onychopagia ada bemacam-macam misalnya
karena keturunan. Loh? Iya, ternyata anak yang orang tuanya melakukan kebiasaan
menggigit kuku, bisa jadi anak akan melakukannya juga. Sejenak kucoba untuk
mengingat-ingat, apakah aku dan suamiku pernah melakukannya. Ah, tidak juga.
Sepertinya kami tak pernah melakukan hal itu.
Kulanjutkan membaca layar persegi panjang dalam genggamanku. Selain
faktor keturunan, masalah psikologis pada anak ternyata juga sering disebut menjadi
pemicunya. Sebagai contoh adalah stress atau kecemasan pada anak, rasa minder atau tidak percaya diri, bosan,
lapar atau keinginan anak untuk menarik perhatian orang tuanya. Perilaku menggigit
kuku ini biasanya hanya bersifat sementara sebagai penekan stress dan rasa
cemas yang hebat, sama seperti perilaku memainkan tangan, memuntir rambut atau
baju dan mengerutukkan gigi. Setelah stress reda, maka anak akan segera menghentikannya.
Ya, mungkin ini penyebabnya. Babarapa waktu yang lalu, memang asisten rumah tangga kami yang biasa mengasuhnya saat aku bekerja mengundurkan diri. Tentu saja, ini adalah pukulan berat untuknya. Karena, baginya, pengasuhnya itu sudah merupakan bagaian dari dirinya. Ya, kami memang tak pernah membedakan, menganggapnya sebagai bagian dari keluarga kami juga.
Rasa penasaran semakin menjadi, seiring degup jantung yang semakin cepat.
Onychopagia harus diwaspadai apabila
anak menggigit kukunya dengan berlebihan apalagi jika merembet ke jari dan
membuat jari hampir berdarah. Atau, jika anak menggigit kuku disertai dengan
perilaku cemas lain seperti menggaruk kulit, menarik rambut atau bulu mata dan
pola tidur anak menjadi terganggu. Jika hal ini terjadi, maka sebaiknya orang
tua segera mendatangi dokter untuk berkonsultasi.
Aku menghela nafas dalam. Kucoba mengingat-ingat kembali, adakah
tanda-tanda lain yang menunjukkan Malika mengalami Onychopagia yang parah. Namun, aku tak yakin.
Kupandang wajah polos Malika yang sedang tertidur pulas. Tuhan, jujur aku
kasihan bidadari kecilku ini. Dalam hatiku bertanya-tanya. Apa yang terjadi padamu,
sayang? Apa yang kamu rasakan? Apa yang bisa mama lakukan untukmu?
Aku kembali berselancar, mengumpulkan lebih banyak informasi untuk
membantu menghentikan kebiasaan baru buah hatiku. Ya, kebiasaan Malika ini harus segera
dihentikan. Karena jika tidak segera dihentikan, aku takut akan menimbulkan
akibat buruk untuknya. Seperti bentuk kukunya yang rusak, infeksi pada bantalan kuku, gigi
dan gusi rusak, sehingga bisa membuat susunan
gigi tidak rapi dan condong ke depan. Aku juga takut kebiasaannya ini akan bisa mempengaruhi perkembangannya.
Ada beberapa tips yang kutemukan, yang bisa dilakukan untuk menghentikan Onychopagia, yaitu: Mencari tahu
penyebab utamanya. Apakah perilaku itu karena stress, rasa cemas, bosan lapar
atau lainnya. Lalu, jangan memarahi atau menghukum anak. karena, bila anak
dimarahi atau dihukum, maka sama saja dengan menambah berat beban anak. Alih-alih
berhenti, bisa jadi anak malah akan lebih sering melakukannya.
Langkah selanjutnya adalah dengan menunjukkan simpati pada anak. Tunjukkan
kepadanya bahwa kita peduli, dan akan berusaha untuk membantu dari masalahnya.
Jangan lupa, untuk membuat anak menyadari kebiasaannya. Anak yang suka
menggigit kuku, terkadang tidak menyadari perilakunya. Oleh karena itu, apabila
anak mulai menggigit kukunya, maka orang tua atau orang di dekatnya segera
memberitahunya. Misal dengan sentuhan di lengan atau dengan kode atau sandi
yang disepakati antara anak dan orang tua. Jika anak sudah paham dan memang
ingin berhenti cara ini akan banyak membantunya. mengalihkan perhatian anak
dengan aktivitas lain juga akan sangat membantu agar anak tiidak bosan dan
sedikit lupa dengan kecemasan yang melandanya.
Tips lain yang tak kalah penting, apabila kebiasaan menggigit kuku ini
tak kunjung berhenti dan semakin parah, ada baiknya orang tua untuk
berkonsultasi dengan dokter. Dokter akan membantu untuk mencarikan penyebabnya
dan memberikan solusi terbaik untuk mengatasinya. Dan jika perlu, akan
memberikan terapi yang tepat untuk anak. Ah, ilmu parenting baru ini untukku.
“hoaammm...” aku menguap, mencoba meghalau rasa kantuk yang semakin kuat
menyergap.
Kulihat angka di pojok kanan
gawai menujukkan angka pukul dua puluh tiga. Ah, malam sudah larut. Mataku pun
terasa berat tak bisa tertahan. Akhirnya, kututup gawai dan kucium lembut
kening permata hatiku.
“Baiklah nak, sepertinya sudah
cukup untuk malam ini. Mulai besok pagi, mama berjanji akan lebih
memperhatikanmu. Akan kita selesaikan masalah ini bersama-sama. Mama tak akan
membiarkanmu terlalu lama sperti ini.” Ucapku mengakhiri malam ini.
Kupeluk tubuh mungil itu, sambil
kubisikkan permintaan maaf padanya, karena aku belum bisa melakukan yang
terbaik untuknya. Tak lupa, kuiringkan doa, semoga Tuhan selalu menjaga dan
melindunginya. Menjadikannya anak yang baik dan selalu bahagia. (Ferina Tri Kurniawati).
#Diary Mama Malika