Tips Ibu Hebat

Sunday 3 May 2020

[Cerpen psikologi anak]: KUKU TANGAN MALIKA

“Adek, jangan gitu dong! Kasihan kan, digigit terus... nanti nangis loh, kukunya!” Aku kembali mengingatkan Malika, saat kulihat dia mulai menggigiti kukunya.

“Ih, Adek, kok digigit lagi sih! Tuh, lihat kulit jarimu juga sampai mengelupas gitu. Nanti kalau sakit bagaimana?”

Aku mulai menaikkan nada suara, menyaksikan tingkahnya. Meski sudah berkali-kali kuingatkan, dia tetap saja mengulanginya. Kuku-kuku tangan gadis kecil berusia 3 tahun itu semakin tak berbentuk. Pun, kulit jemarinya. Bahkan beberapa kali terlihat kemerahan, hampir berdarah.

Awalnya, aku pikir ini hal yang wajar kalau balita memasukkan semua benda ke dalam mulut, lalu mencoba menggigit atau memakannya. Mungkin Malika masih dalam fase oral atau giginya mulai gatal lagi karena mau tumbuh. Ah, entahlah.

Namun, akhir-akhir ini kuperhatikan perilakunya ini makin intens. Sering kali aku menegurnya, tapi dia tetap mengulanginya lagi. Tak jarang, emosiku naik, lalu dengan agak kasar aku tarik tangannya dari mulutnya. Tentu disertasi dengan omelan dan ancaman. Tapi, lagi-lagi hal itu hanya membuatnya berhenti sebentar, lalu gigi kecilnya kembali mengeksekusi kuku tipisnya.

“Mama... mama...” teriak Malika sambil menghampiriku.

‘”Ma, sakit...” ucap Malika sambil menunjukkan ujung jemarinya yang memerah.

“Ya ampun sayang, kok sampai kayak gini sih? Tuh kan, makanya jangan digigit dong kukunya. Kena tangan kamu nih. Sini, mama obatin dulu ya. Di kasih salep dan plester ya?” Aku segera mengobati tangan Malika meski dengan mulut yang terus bicara. 

Aku pun mulai khawatir. Terus terang, aku merasa takut kalau-kalau kebiasannya ini akan berdampak buruk baginya. Bagaimana kalau kukunya jadi infeksi? Bagaimana kalau kukunya tertelan? Bagaimana kalau kotoran dalam kukunya ikut masuk dalam perutnya dan menyebabkan penyakit?  Atau, apakah ada masalah lain seperti psikologi, misalnya. Duh... aku menutup wajah, ngeri membayangkannya.

Gadis kecil berambut ikal itu telah terlelap. Tak mau berlarut-larut dengan kekhawatiran ini, aku pun segera mengambil gawaiku. Kuketik kata kunci “kebiasaan anak menggigit kuku” setelah kubuka aplikasi pencarian favoritku. Ah, gawai jaman sekarang memang sering menjadi semacam kotak P3K bagi para ibu muda sepertiku.

Ada banyak artikel yang muncul di sana. Kupilih artikel-artikel dari beberapa website terpercaya.

“Yap! Ini yang kucari,” batinku sambil serius membaca satu persatu tulisan itu.

Dalam ilmu psikologi anak, ternyata kebiasaan baru Malika ini biasa disebut dengan Onychopagia. Perilaku ini memang banyak dilakukan oleh anak-anak. Sekitar 20% anak melakukannya. Sebagian akan berhenti, namun sebagian lagi (sekitar 40-50%) akan terus melakukan hingga dewasa.

Masih dari tulisan itu, disebutkan bahwa penyebab dari Onychopagia ada bemacam-macam misalnya karena keturunan. Loh? Iya, ternyata anak yang orang tuanya melakukan kebiasaan menggigit kuku, bisa jadi anak akan melakukannya juga. Sejenak kucoba untuk mengingat-ingat, apakah aku dan suamiku pernah melakukannya. Ah, tidak juga. Sepertinya kami tak pernah melakukan hal itu.

Kulanjutkan membaca layar persegi panjang dalam genggamanku. Selain faktor keturunan, masalah psikologis pada anak ternyata juga sering disebut menjadi pemicunya. Sebagai contoh adalah stress atau kecemasan pada anak, rasa minder atau tidak percaya diri, bosan, lapar atau keinginan anak untuk menarik perhatian orang tuanya. Perilaku menggigit kuku ini biasanya hanya bersifat sementara sebagai penekan stress dan rasa cemas yang hebat, sama seperti perilaku memainkan tangan, memuntir rambut atau baju dan mengerutukkan gigi. Setelah stress reda,  maka anak akan segera menghentikannya.

Ya, mungkin ini penyebabnya. Babarapa waktu yang lalu, memang asisten rumah tangga kami yang biasa mengasuhnya saat aku bekerja mengundurkan diri. Tentu saja, ini adalah pukulan berat untuknya. Karena, baginya, pengasuhnya itu sudah merupakan bagaian dari dirinya. Ya, kami memang tak pernah membedakan, menganggapnya sebagai bagian dari keluarga kami juga. 

Rasa penasaran semakin menjadi, seiring degup jantung yang semakin cepat. Onychopagia harus diwaspadai apabila anak menggigit kukunya dengan berlebihan apalagi jika merembet ke jari dan membuat jari hampir berdarah. Atau, jika anak menggigit kuku disertai dengan perilaku cemas lain seperti menggaruk kulit, menarik rambut atau bulu mata dan pola tidur anak menjadi terganggu. Jika hal ini terjadi, maka sebaiknya orang tua segera mendatangi dokter untuk berkonsultasi.

Aku menghela nafas dalam. Kucoba mengingat-ingat kembali, adakah tanda-tanda lain yang menunjukkan Malika mengalami Onychopagia yang parah. Namun, aku tak yakin.

Kupandang wajah polos Malika yang sedang tertidur pulas. Tuhan, jujur aku kasihan bidadari kecilku ini. Dalam hatiku bertanya-tanya. Apa yang terjadi padamu, sayang? Apa yang kamu rasakan? Apa yang bisa mama lakukan untukmu?

Aku kembali berselancar, mengumpulkan lebih banyak informasi untuk membantu menghentikan kebiasaan baru buah hatiku.  Ya, kebiasaan Malika ini harus segera dihentikan. Karena jika tidak segera dihentikan, aku takut akan menimbulkan akibat buruk untuknya. Seperti bentuk kukunya  yang rusak, infeksi pada bantalan kuku, gigi dan gusi rusak,  sehingga bisa membuat susunan gigi tidak rapi dan condong ke depan. Aku juga takut kebiasaannya ini akan bisa mempengaruhi perkembangannya.

Ada beberapa tips yang kutemukan, yang bisa dilakukan untuk menghentikan Onychopagia, yaitu: Mencari tahu penyebab utamanya. Apakah perilaku itu karena stress, rasa cemas, bosan lapar atau lainnya. Lalu, jangan memarahi atau menghukum anak. karena, bila anak dimarahi atau dihukum, maka sama saja dengan menambah berat beban anak. Alih-alih berhenti, bisa jadi anak malah akan lebih sering melakukannya.

Langkah selanjutnya adalah dengan menunjukkan simpati pada anak. Tunjukkan kepadanya bahwa kita peduli, dan akan berusaha untuk membantu dari masalahnya. Jangan lupa, untuk membuat anak menyadari kebiasaannya. Anak yang suka menggigit kuku, terkadang tidak menyadari perilakunya. Oleh karena itu, apabila anak mulai menggigit kukunya, maka orang tua atau orang di dekatnya segera memberitahunya. Misal dengan sentuhan di lengan atau dengan kode atau sandi yang disepakati antara anak dan orang tua. Jika anak sudah paham dan memang ingin berhenti cara ini akan banyak membantunya. mengalihkan perhatian anak dengan aktivitas lain juga akan sangat membantu agar anak tiidak bosan dan sedikit lupa dengan kecemasan yang melandanya.

Tips lain yang tak kalah penting, apabila kebiasaan menggigit kuku ini tak kunjung berhenti dan semakin parah, ada baiknya orang tua untuk berkonsultasi dengan dokter. Dokter akan membantu untuk mencarikan penyebabnya dan memberikan solusi terbaik untuk mengatasinya. Dan jika perlu, akan memberikan terapi yang tepat untuk anak. Ah, ilmu parenting baru ini untukku.

“hoaammm...” aku menguap, mencoba meghalau rasa kantuk yang semakin kuat menyergap.

                Kulihat angka di pojok kanan gawai menujukkan angka pukul dua puluh tiga. Ah, malam sudah larut. Mataku pun terasa berat tak bisa tertahan. Akhirnya, kututup gawai dan kucium lembut kening permata hatiku.

                “Baiklah nak, sepertinya sudah cukup untuk malam ini. Mulai besok pagi, mama berjanji akan lebih memperhatikanmu. Akan kita selesaikan masalah ini bersama-sama. Mama tak akan membiarkanmu terlalu lama sperti ini.” Ucapku mengakhiri malam ini.

                Kupeluk tubuh mungil itu, sambil kubisikkan permintaan maaf padanya, karena aku belum bisa melakukan yang terbaik untuknya. Tak lupa, kuiringkan doa, semoga Tuhan selalu menjaga dan melindunginya. Menjadikannya anak yang baik dan selalu bahagia. (Ferina Tri Kurniawati).

#Diary Mama Malika


No comments:

Post a Comment